Pemerintah
dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian
Pertanian telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan atau growth promoter mulai 1
Januari 2018. Kebijakan itu mengacu pada amanat UU No. 41 tahun 2014 Jo. UU No
18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.
Hal ini disampaikan Direktur Kesehatan Masyarakat
Veteriner Syamsul Ma'arif dalam sarasehan dengan peternak yang mengangkat tema
Penggunaan Antibiotik yang Bijak Menghasilkan Produk Unggas yang Sehat di Solo,
seperti dikutip dari keterangan resmi pada Minggu (19/11/2017).
Antibiotik pada dunia
kedokteran hewan perunggasan pada dasarnya dapat diberikan untuk empat tujuan :
Terapeutik, artinya antibiotik diberikan kepada hewan sakit agar sembuh dari
agen penyakit kausatifnya. Metafilaksis (kontrol), artinya antibiotik diberikan
kepada hewan suspek pada daerah yang ditemukan penyakit agar mengurangi
penyebaran penyakit. Profilaksis (pencegahan), artinya antibiotik diberikan
kepada hewan sehat untuk memberikan proteksi agar tidak terkena penyakit. Antibiotic Growth Promoter / AGP (antibiotik
imbuhan pakan), artinya antibiotik diberikan untuk mengeliminir bakteri
merugikan saluran pencernaan agar mendapatkan bobot badan serta rasio konversi
pakan yang lebih baik.
Penggunaan AGP pada
Unggas
AGP sendiri diberikan pada
unggas dengan dosis sub-terapeutik atau dibawah dosis normal untuk terapi.
Karena target AGP sendiri adalah kepada bakteri pada permukaan saluran
pencernaan, sehingga pemberian dosis sub-terapeutik diharapkan tidak
terdistribusi jauh hingga ke dalam organ dan tidak meninggalkan residu pada
daging dan telur saat dipanen. Kelarutan dari jenis antibiotik juga berpengaruh
terhadap distribusi obat tersebut di dalam tubuh, seperti contoh AGP jenis
Flavomisin yang larut air dan polar menyebabkan pemberian dosis tinggi tidak
diserap tubuh dan tidak memelukan waktu henti (withdrawal time)
untuk residu. Berbeda dengan jenis Oksitetrasiklin yang sangat larut lemak dan
tidak polar menyebabkan pemberian dosis rendah tetap diserap tubuh dan
memerlukan waktu henti untuk residu dapat hilang.
AGP Dilarang Penggunaanya
Sejalan dengan kebijakan
WHO untuk mengurangi penggunaan berlebih antibiotik pada peternakan dan
perikanan, pasal 22 ayat 4 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014, menyebutkan bahwa melarang
penggunaan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan
pakan. Walaupun undang-undangnya sudah ada, namun hingga tahun ini antibiotik
imbuhan pakan belum sepenuhnya dapat dieliminasi. Hal ini dikarenakan jika
langsung dihilangkan begitu saja, maka industri perunggasan dapat mengalami
krisis. Diantaranya konversi pakan membengkak dan deplesi yang tinggi
akibat Necrosis Enteritis.
Alasan utama pelarangan AGP
adalah karena sudah tingginya kejadian resistensi bakteri terhadap banyak jenis
antibiotik, bahkan antibiotik yang dipersiapkan untuk menangani kasus bakteri
multi-resisten. Sebagai contoh kasus infeksi seperti yang disebabkan oleh VRE
(Vancomycin-resistant Enterococci) atau CRE (Carbapenem-resistant
Enterobacteriaceae) tentu akan sangat sulit untuk diobati. AGP sendiri telah
terbukti dapat menyebabkan resistensi silang antara antibiotik dalam satu
golongan. Sebagai contoh Virginiamisin yang hanya diberikan kepada hewan
sebagai AGP dapat menyebabkan resistensi silang dengan
Quinupristin/Dalfopristin yang merupakan antibiotik second-line pada manusia. Hal ini dikarenakan
keduanya masuk dalam golongan antibiotik yang sama, yakni Streptogramin.
Resistensi silang ini menyebabkan kekebalan bakteri jenis tertentu terhadap
semua jenis antibiotik Streptogramin, walaupun manusia yang terinfeksi bakteri
tersebut belum pernah meminum antibiotik golongan Streptogramin sebelumnya.
Pelarangan AGP Oleh
Berbagai Negara
Di negara besar lainnya sendiri sebenarnya
terdapat beberapa regulasi yang berbeda-beda. Amerika Serikat dan Kanada
melarang penggunaan golongan antibiotik yang penting di manusia sebagai AGP.
Golongan antibiotik yang penting adalah daftar golongan antibiotik yang
dikeluarkan oleh WHO yang dianggap vital bagi manusia karena keefektivitasannya
dalam mengobati penyakit. Prakteknya adalah antibiotik seperti Avoparcin
yang merupakan AGP yang hanya dipakai untuk hewan, namun karena tergolong
antibiotik golongan Glikopeptida (Vancomisin) yang termasuk penting di manusia
sehingga tidak diperbolehkan digunakan sebagai AGP. Sedangkan golongan
antibiotik yang tidak digunakan pada manusia seperti Flavofosfolipol
(Flavomisin / Bambermisin) atau Ionofor masih dapat dipergunakan sebagai AGP.
Tabel 1. Penggunaan
Beberapa Jenis Antibiotik pada Manusia dan Hewan
Golongan
Antibiotik
|
Persentase Pemakaian
pada Manusia
|
Persentase Pemakaian
pada Hewan
|
Penisilin
|
44%
|
6%
|
Sefalosporin
|
15%
|
1%
|
Sulfonamida
|
14%
|
3%
|
Quinolon
|
9%
|
> 1%
|
Makrolida
|
5%
|
4%
|
Tetrasiklin
|
4%
|
41%
|
Ionofor
|
0%
|
30%
|
Sumber : 2011 Summary
Report on Antibiotics Sold or Distributed for Use in Food Producing Animals
Di Eropa sendiri tertanggal
1 januari 2006 telah melarang semua jenis antibiotik yang ditujukan
sebagai Growth Promoter, baik yang digunakan di manusia
ataupun tidak. Artinya AGP seperti Flavomisin juga dilarang dipergunakan.
Walapun demikian, Ionofor (Monensin, Salinomisin, Lasalocid, dll), salah satu
jenis antibiotik yang ditujukan untuk mengatasi koksidia, masih diperbolehkan
digunakan di unggas sebagai pencegahan koksidia dan NE, walaupun penggunaannya
pada ruminansia telah dilarang karena tujuannya lebih sebagai AGP.
Alternatif Pengganti AGP
Sebenarnya telah banyak
penemuan dan produsen obat yang menawarkan pengganti AGP ini, mulai dari enzim,
minyak esensial, asam organik, probiotik, prebiotik, dll yang terbukti dapat
mengeliminir bakteri yang merugikan pada saluran pencernaan. Walaupun demikian,
penggunaanya tanpa perbaikan mutu pakan di feedmill atau
perbaikan manajemen di farm akan sangat tidak mungkin dapat dilakukan demi
mendapatkan performa yang maksimal. Perbaikan di feedmill seperti perbaikan kecernaan pakan atau
manajemen ammonia di farm tentu akan sangat membantu pengganti AGP tersebut
dalam mengontrol flora di saluran pencernaan.
Pada akhirnya, AGP
sebenarnya sangat diperlukan di unggas. Namun karena dampak negatifnya terhadap
manusia, penggunaan antibiotik hendaknya dikembalikan lagi hanya sebagai
terapeutik. Penambahan pengganti AGP, perbaikan pakan di feedmill dan manajemen di farm harus dilakukan
secara holistik untuk menjaga agar performa unggas tetap baik walaupun AGP
telah diberhentikan. Pengawasan penggunaan antibiotik di hewan, baik unggas
khususnya atau hewan lain pada umumnya juga harus lebih diperketat oleh dokter
hewan (antibiotic stedwardship), karena pada prinsipnya kasus
resistensi disebabkan karena pemberian antibiotik yang tidak tepat sasaran.
Pengetahuan dokter hewan mengenai antibiotik juga harus diperdalam, sehingga
pada saat menangani suatu kasus dapat memberikan antibiotik secara akurat,
tepat dan benar, sehingga kejadian resistensi silang dapat ditekan.
Vetindo https://vetindonesia.com/2017/05/08/mengapa-antibiotic-growth-promoter-dilarang/
Gambar 1,2,3 dan 4 Industri peternakan pada ayam broiler :)